Jumat, 28 Agustus 2009

Kebudayaan Kuansing

Pacu Jalur


Di awal abad ke-17, jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40 orang.

Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.

Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antarjalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama pacu jalur. Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung- kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam.

Saat itu, karena berangkat dari kemeriahan antarkampung yang sangat sederhana, maka untuk para juara lomba tidak ada hadiah yang diperebutkan, yang ada adalah acara makan bersama warga sekampung dengan menu makanan tradisional setempat, seperti konji, godok, lopek, paniaran, lida kambiang, dan buah golek. Tetapi, di beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain berwarna-warni berbentuk segi tiga dengan renda di bagian tepinya), yang diberikan untuk juara satu hingga empat dengan perbedaan pada ukuran kainnya.