Sejarah teaternya diturunkan dari tiga sumber utama. Yaitu, Istana, Rakyat, dan modifikasi maupun turunan langsung dari teater Barat (Eropa dan Amerika) maupun para penjajah dan para musafir dari tanah Arab maupun Turki. Awal pertumbuhannya pun diperkirakan pada awal abad 19. Masa keemasan pertumbuhannya diperkirakan antara 1880 hingga 1930 (salah satunya dengan lahirnya Komedi Stamboel 1891), selanjutnya diikuti oleh pasang surut teater modern.
Terdapat tiga titik awal dalam pertumbuhan teater di Jawa Timur. Pertama, Pertumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya kota . Begitu juga dengan meningkatnya produksi hasil pertanian, perkebunan, peternakan hingga insdustri. Kedua, Teater Jawa Timur lahir dari suatu pergaulan antar daerah atau wilayah kultural maupun politik, terutama hubungan para seniman dengan daerah-daerah, seperti Jakarta sebagai pusat ibukota negara, dan Yogyakarta sebagai pusat berlangsungnya kehidupan kebudayaan yang sangat besar dan dinamis. Hubungan itu juga berlangsung secara gradual dengan Jawa Tengah, khususnya kota Surakarta, dan dengan Tegal, Pekalongan, Semarang maupun Salatiga hanya secara insidentil, lalu di Timur dengan Denpasar (Bali). Akhir-akhir ini --paling tidak dalam satu dasa warsa ini, hubungan dengan Makasar (Sulawesi Selatan) juga mulai muncul dan semakin dekat. Di samping itu, hubungan antar daerah tingkat dua yang saling berdekatan, misalnya antara daerah Surabaya dan Sidoarjo, Mojokerto maupun Gresik dan Jombang. Begitu pula antara daerah Ngawi, Madiun, Ponorogo dan Pacitan. Juga, antara Blitar dengan Kediri dan Tulungagung maupun antara Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Ketiga, Teater lahir dari hubungan aktivitas para sastrawan yang menginginkan adanya suatu penampilan yang bersifat dramatis atau sesuatu pertunjukan yang berangkat dari karya sastra. Karena, bagaimanapun juga, salah satu komponen teater itu, yakni Drama, merupakan genre sastra yang cukup penting, di samping puisi maupun cerita pendek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar